Efek

Friday, January 14, 2011

Habib Abdullah Alhadad

Habib Abdullah Alhadad
Tokoh Sufi dan Pemikir Abad ke-17

Tarim merupakan kota tua di Hadramaut, propinsi di bagian selatan Republik Yaman. Di kota yang berpenduduk sekitar 150 ribu jiwa itu, saat ini bermukim sekitar 800 santri dari Indonesia. Mereka bersama para pelajar dari mancanegara tengah menekuni ilmu agama di dua rubath (pesantren) di Tarim. Keduanya adalah Rubath Daarul Mustafa yang dipimpin Habib Umar bin Muhammad Hafidz Binsyehbubakar, dan Rubath Tarim yang dipimpin Habib Hasan dan adiknya Habib Salim Shatiri.
Selain itu, sekitar 50 santri putri asal Indonesia sedang menimba ilmu di Rubath Daarul Zahrah, pesantren khusus wanita. Sejumlah mahasiswa Indonesia juga tengah belajar di Universitas Al-Akhgaf di Tarim. Memang, setelah berakhirnya kekuasaan komunis di Yaman, banyak warga Indonesia yang belajar di Hadramaut setelah terputus selama 26 tahun.
Di samping kota pelajar, Tarim oleh kebanyakan orang Hadramaut juga dijuluki kota 'aulia'. Karena kota ini banyak menghasilkan ulama besar yang hingga kini ajarannya banyak dipelajari di majelis taklim-majelis taklim dan pesantren. Salah satu di antaranya adalah Habib Abdullah Alhadad, yang ratib dan diwan (syair)-nya hingga kini banyak dipelajari dan diamalkan di Indonesia. Juga, Habib Muhammad Alhabsyi, pengarang kitab Maulid Nabi SAW yang banyak dibacakan pada peringatan-peringatan maulid.
Karena itulah, dalam paket umrah via Hadramaut yang diselenggarakan oleh Biro Perjalanan Alisan, salah satu acaranya adalah berziarah ke rumah dan masjid yang dibangun oleh Habib Alhadad sekitar empat abad lalu. Masjid ini, sekarang tampak megah setelah diperluas dan direnovasi oleh seorang keturunan Alhadad dari Arab Saudi, belum lama ini.
Di kediamannya yang kini menyatu dengan masjid, kita dapat menyaksikan tempat-tempat Alhadad mengajar, sujud, tidur, makan, dan saat jenazahnya dibaringkan ketika hendak dimakamkan di Pemakanan Jambal Tarim.
Al-Imam al-Alamah Sayid Abdullah bin Alwi Alhadad atau yang lebih akrab disebut Habib Abdullah Alhadad dilahirkan di Subair, pinggiran kota Tarim, pada malam Kamis 5 Shafar 1044 H atau 379 tahun lalu berdasarkan perhitungan Hijriah. Kota Tarim, kala itu merupakan pusat kaum Alawiyyin, sebutan bagi keturunan Imam Husein bin Ali bin Abi Thalib. Marga Alhadad sendiri merupakan salah satu dari 200 marga keturunan tersebut.
Habib Alhadad dibesarkan di bawah pengawasan ketat ayahnya, Sayid Alwi bin Muhammad Alhadad, terutama setelah kedua matanya buta akibat penyakit cacar pada usia empat tahun. Agaknya, musibah ini justru menjadi salah satu penyebab keberhasilannya menuntut ilmu yang luas. Berkat asuhan ayahnya yang ketat tapi penuh kasih sayang, Habib Alhadad tumbuh sebagai pelajar yang dikagumi setiap orang yang mengenalnya.
Allah telah menggantikan penglihatan lahiriahnya dengan penglihatan batiniah di samping kemampuan menghafal sangat kuat. Karenanya tidak heran, dalam usia sangat dini dia telah menghafal seluruh Alquran. Ia juga sangat tekun mempelajari dan menguasai buku-buku karangan Imam Al Gazali yang memang sangat digemari di kalangan masyarakat di Hadramaut.
Pengaruh buku-buku inilah yang membawanya ke lingkungan hidup dengan warna kesufian yang kuat. Kecenderungan ini rupa-rupanya tidak berkenan di hati ayahnya, yang kemudian mengarahkannya agar mempelajari ilmu-ilmu syariat sebelum apa yang oleh kalangan sufi, disebut ilmu-ilmu hakikat. Maka mulailah Habib yang tekun ini mempelajari ilmu-ilmu tafsir, hadis, fiqih, tarikh, dan sebagainya di bawah bimbingan sejumlah guru besar di zamannya. Dikabarkan bahwa ia pernah berguru tidak kurang dari 100 orang alim.
Kebutaan yang diterimanya sejak kecil, justru membuatnya sebagai orang yang selalu bersyukur kepada Allah. Menurut Habib Alhadad, begitu banyak nikmat yang diberikan Allah kepadanya, sekalipun kedua matanya buta. Karena itu kebutaan tidak membuat ia menjadi pemarah atau pemurung dan merana. Bahkan setelah dapat menghafal Alquran, ia lebih tekun lagi beribadah. Ia shalat ratusan rakaat tiap hari sebagai rasa syukurnya atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya.

Tafakur
Pada masa mudanya, seperti diceritakan orang-orang yang mengenalnya, ia lebih cenderung menjauhkan diri dari cara hidup para remaja se usianya. Pada waktu-waktu tertentu ia sering menyendiri di tempat-tempat sunyi, seperti di lembah-lembah dan bukit-bukit di sekitar kota Tarim untuk bertafakur dan beribadah.
Namun kebiasaannya ini tidak mengurangi ketekunannya dalam menuntut ilmu, dari masjid yang satu ke masjid lainnya, dari kota yang satu ke kota lainnya. Mendengar dan menimba ilmu dari guru-guru yang masing-masing memiliki kekhususan di bidangnya.
Adalah pemandangan yang biasa bagi orang-orang yang melakukan perjalanan antara Tarim dan Seiyun yang jaraknya sekitar 40 km, menyaksikan seorang pemuda yang buta berjalan sendirian di malam sepi untuk ziarah ke makam Imam Al-Muhajir, moyang pertama kaum Alawiyyin yang hijrah ke Hadramaut.
Di samping ziarah ke para tokoh ulama, ia sering berziarah ke makam Nabi Allah Hud, yang menjadi tradisi di Hadramaut pada tiap bulan Sya'ban. Dengan ziarah-ziarah semacam itu, jiwanya merasakan ketenteraman dan memperoleh bekal rohani yang diperlukan dalam menempa diri dan melawan hawa nafsu.
Kembali ke masalah ibadahnya, Habib Abdullah Alhadad tak kurang mengerjakan shalat sunnah seratus bahkan dua ratus rakaat per hari di masjid. Dalam kaitan ini, ia pernah mengatakan: ''Aku sejak masih kecil giat sekali beribadah dan menghafal berbagai mujahadah (melawan berbagai nafsu).
Nenekku Salma, wanita yang saleh itu berkata, "Kasihanilah dirimu', setiap melihatku terlalu banyak beribadah. Ia mengasihi diriku. Demikian pula ayah dan ibuku. Keduanya, merasa kasihan melihat anak mereka melakukan berbagai mujahadah."
Alhadad juga berkata: "Pada masa permulaanku berlatih mujahadah aku membiasakan diri berpakaian kasar dan makan makanan yang kasar." Habib Abdullah Alhadad juga dikenal sebagai orang yang sering bersuluk demi pendekatan diri dengan Allah.
Menurutnya, "Suluk ialah berjalannya hati menuju pelurusan dan penerapan akhlak keimanan, serta pentahkikan peringkat-peringkat keyakinan dan segala yang berkaitan dengannya."
Perjalanan hati, katanya, haruslah dengan mendaki dari suatu maqam yang telah dicapai ke arah maqam lainnya yang lebih tinggi, terus menerus tanpa henti dari sejak awal sampai akhir. Itulah perjalanan batin di atas lintasan batin pula.
Akhirnya, perjuangan tak mengenal lelah yang telah dilakukannya selama puluhan tahun menuntut ilmu dan mensucikan jiwa dari segala perilaku tercela seraya mengisinya dengan akhlak nabawiyyah, telah mengantarkannya ke puncak kesempurnaan insani.
Sehingga ia berhak memperoleh sebutan sebagai mujtahid mutlak dalam ilmu syariat dan al-Qutub al-Ghauts dalam ilmu hakikat. Dan jadilah ia panutan kaum yang bertakwa. Teladan bagi yang berjalan lurus dan tulus. Sumber ilmu bagi yang ingin meraihnya. Serta rahmat bagi siapa saja yang mendambakannya.
Murid-muridnya berdatangan dari segenap pelosok. Banyak pula dari luar Hadramaut yang mendengar tentangnya. Ketika pada 1080 H ia berangkat menuju al-Haramain untuk menunaikan ibadah haji, banyak di antara tokoh ulama dan wali di sana yang meminta ijazah darinya sebagai pengakuan atas kedudukannya yang tinggi, walaupun pada mulanya ia bermaksud memintanya dari mereka, seperti ditulis Muhammad al-Baqir, pada Halaqah Ilmiah Al-Hurriyah ke-9, 18/10-1987 di Jakarta.
Habib Abdullah wafat pada malam Selasa 7 Dzulqaidah 1132 H dalam usia 88 tahun. Ia dimakamkan di Jambal, tempat pemakaman keluarga dan leluhurnya di pinggiran kota Tarim. n (alwi shahab)



Sebuah karya seorang ulama besar negeri Hadramaut (di bagian selatan Yaman) yang hidup di abad 12 H: Al-Alamah Al Habib Abdullah bin 'Alawi Al-Haddad (rahimahullah), yang karya-karyanya disebut oleh Syaikh Hasanain Makhluf, mantan Mufti Mesir dan Ketua Lembaga Fatwa Al-Azhar di Mesir dalam salah satu pengantarnya sebagai, ''... penuh dengan ilmu melimpah, kecerahan dan cahaya yang merupakan suluh bagi siapa-siapa yang sedang 'berjalan' dalam pencarian, dan petunjuk bagi yang dalam kebimbangan.
Dengan ungkapan yang lancar dan mudah, serta kalimat-kalimat yang sangat padat berisi. Sehingga menjadi penawar kalbu dan penghibur jiwa, melunakkan hati yang tegar dan menariknya dengan lembut sehingga dekat dengan jalan para salaf saleh. Selesai membacanya, hati si pembaca akan diterangi sinar hidayah, tersingkap baginya tabir kegelapan yang menutupi jiwa. Sehingga pikiran menjadi lurus, kegelapan yang menutupi jiwa. Sehingga pikiran menjadi lurus, pandangan terang dan perbuatan terpuji. I apun seakan-akan bergembira ria di taman-taman indah berbunga rampai, luas tak terbatas; berkumpul bersama orang-orang saleh yang telah beroleh anugrah Ilahi; yang merasa kuat karean dekat dengan Allah SWT sehingga tak perlu bergantung pada siapa pun makhluk-Nya; menjadi kesayangan-Nya karena keikhlasan amalannya, penuh bahagia karena ketulusan hatinya; dan menjadi petunjuk jalan bagi siapa-siapa yang ingin menghampiri Tuhan.''

1 comment: